Pages

Jumat, 12 Agustus 2011

ETIKA PANJAT TEBING

Royal Robbins, pengarang buku “Basic Rock Craft”, berpendapat bahwa etika panjat tebing adalah aksi yang secara langsung mempengaruhi orang lain dalam komunitas pemanjat. Polemik pertama yang muncul adalah bagaimana seharusnya jalur pemanjatan dibuat.

Opsi pertama berpendapat bahwa sebuah jalur sedapat mungkin dibiarkan seperti aslinya, sehingga setiap pemanjat bisa menikmati hasil karya Sang Pencipta dalam bentuk yang asli. Anggapan seperti ini menuntut pemanjat untuk merintis jalur dengan cara sebagus mungkin atau tidak sama sekali. Meminimalkan penggunaan sesuatu yang sifatnya artificial apalagi meninggalkannya di tebing. Pendapat ini sangat ekstrim. Memanjat dengan cara terbaik seperti ini sangat diinginkan, tetapi apakah semua pemanjat harus dipaksa melakukannya? Apakah semua orang mampu melakukannya? Pendapat lain bertolak belakang dengan paham tadi, bahwa sebuah jalur selayaknya dapat diakses oleh semua orang. Pendapat ini menghalalkan sebuah jalur dirubah. Contohnya membentuk pegangan dengan pukulan hammer.


Faktor lingkungan mempengaruhi perbedaan pandangan seperti ini. Cara memanjat berkembang menjadi sebuah kebiasaan karena adaptasi terhadap kondisi medan (tebing). Karena itulah, cara memanjat antara pemanjat tidak selamanya sama. Perbedaan ini melahirkan bermacam cara memanjat yang biasa disebut gaya memanjat. Gaya memanjat merujuk pada metode pemanjatan, peralatan yang digunakan serta derajat petualangan yang dihadapi. Fakta seperti ini kemudian menggeser pengertian etika menjadi kabur. Karena cara memanjat atau bagaimana seseorang membuat sebuah jalur tergantung dari kebiasaan. Kebiasaan seperti itu lebih pas dikategorikan sebagai sebuah gaya, gaya memanjat (climbing style).
Baik buruknya sebuah gaya memanjat sangat sulit diukur secara pasti. Pemanjat Inggris terkenal sebagai pemanjat bersih (clean climbing), itu karena mereka terbiasa dengan sarana tebing dengan cacat batuan yang banyak, seperti tebing kapur (batu gamping). Kondisi alam seperti ini memungkinkan mereka mencapai puncak-puncak tebing dengan hanya mengandalkan pengaman-pengaman sisip saja. Lain halnya dengan pemanjat Amerika. Mereka terbiasa dengan penggunaan alat-alat artificial, seperti bolt, piton, dan sebagainya. Itu juga karena hasil adaptasi dengan situasi medan yang berbeda. Seperti kita tahu bahwa kawasan pemanjatan yang populer di Amerika, seperti lembah Yosemite adalah kawasan yang terbentuk dari batuan beku yang keras dan minim rekahan. Untuk memanjat di sana diperlukan dukungan segala macam pengaman artificial. Mereka akhirnya akrab dengan gaya artificial (aid climbing). Beda lagi dengan pemanjat dari Perancis, dunia mengenal mereka dengan istilah French Style.
Etika memanjat hanya ada dalam judul wacana. Perdebatan masih terus berlangsung, seiring para pemanjat mengukir prestasi di tebing-tebing baru. Penggunaan berbagai cara dan sistim pemanjatan sifatnya situsional. Tidak selamanya memanjat dengan menggunakan tali penghubung dari dasar (siege tactic) lebih buruk dibanding dengan cara tradisional (big wall) yang secara terus menerus memanjat hingga ke puncak (alpine tactic). Gaya big wall jika diterapkan pada dinding yang kecil justru akan menjadi buruk. Kasusnya sama ketika kita menghamburkan bolt dan sebagainya pada jalur dengan grade yang sangat rendah. Dari segi tantangan, nilai pemanjatannya juga akan sangat buruk. Tetapi sekali lagi, penilaian seperti ini sangat relatif.
Lalu, bagaimana memanjat yang terbaik? Terlepas dari kontroversi tentang etika dan gaya, setiap pemanjat dituntut harus memaksimalkan kemampuannya, tidak pasrah dan selalu tergantung pada peralatan artificial yang nota bene akan menurunkan kualitas pemanjatan. Menurut penulis, cara yang terbaik adalah memanjat dengan se-natural mungkin, dilakukan dengan bantuan teknologi seminimal mungkin. Mulailah dengan meninggalkan kebiasaan menggunakan bolt dan piton. Biasakan untuk menggunakan jammet nut (pengaman sisip) dan pengaman alam yang tersedia, seperti tonjolan atau lubang batuan. Pada puncaknya, pemanjat akan memanjat dengan dirinya sendiri tanpa dukungan pengaman tadi (free soloing). Kuncinya adalah menyesuaikan gaya pemanjatan dengan diri sendiri, kemampuan dengan ambisi. Menurut penulis, begitulah cara memanjat yang terbaik. Mengajarkan kepada kita bahwa memanjat adalah sebuah proses belajar dan belajar.

sumber

Jumat, 05 Agustus 2011

SEJARAH PANJAT TEBING

DEFINISI PANJAT TEBING
Panjat tebing atau istilah asingnya dikenal dengan Rock Climbing merupakan salah satu dari sekian banyak olah raga alam bebas dan merupakan salah satu bagian dari mendaki gunung yang tidak bisa dilakukan dengan cara berjalan kaki melainkan harus menggunakan peralatan dan teknik-teknik tertentu untuk bisa melewatinya. Pada umumnya panjat tebing dilakukan pada daerah yang berkontur batuan tebing dengan sudut kemiringan mencapai lebih dari 45°  dan mempunyai tingkat kesulitan tertentu.
Pada dasarnya olah raga panjat tebing adalah suatu olah raga yang mengutamakan kelenturan, kekuatan / daya tahan tubuh, kecerdikan, kerja sama team serta ketrampilan dan pengalaman setiap individu untuk menyiasati tebing itu sendiri. Dalam menambah ketinggian dengan memanfaatkan cacat batuan maupun rekahan / celah yang terdapat ditebing tersebut serta pemanfaatan peralatan yang efektif dan efisien untuk mencapai puncak pemanjatan.
Pada awalnya panjat tebing merupakan olah raga yang bersifat petualangan murni dan sedikit sekali memiliki peraturan yang jelas, seiring dengan berkembangnya olah raga itu sendiri dari waktu kewaktu telah ada bentuk dan standart baku dalam aktifitas dalam panjat tebing yang diikuti oleh penggiat panjat tebing. Banyaknya tuntutan tentang perkembangan olah raga ini memberi alternatif yang lain dari unsur petualangan itu sendiri. Dengan lebih mengedepankan unsur olah raga murni (sport).



SEJARAH PANJAT TEBING

1988
Dinding panjat buat pertama kali diperkenalkan di Indonesia, dibawa oleh 4 atlet pemanjat Prancis yang diundang atas kerjasama Kantor Menpora dengan Kedubes Perancis di Jakarta. Mereka juga sempat memberikan ilmu lewat kursus singkat kepada pemanjat-pemanjat kita. Bersamaan, lahir Federasi Panjat Gunung & Tebing Indonesia, diketuai Harry Suliztiarto.
Untuk pertama kalinya disusun rangkaian kejuaraan untuk memperebutkan Piala Dunia Panjat Dinding yang direstui dan diawasi langsung oleh UIAA (badan Internasional yang membawahi federasi-federasi panjat tebing dan pendaki gunung), diawali dengan kejuaraan di Snowbird, Utah, AS.
Ekspedisi panjat tebing pertama yang dilakukan sepenuhnya oleh wanita, Ekspedisi Putri Parang Aranyacala, Tower III. Sedangkan kelompok putranya memanjat Tebing Gunung Kembar di Citeureup, Bogor.
Ekspedisi UKL Unpad Bandung di Batu Unta, Kalbar, kehilangan satu anggotanya, Yanto Martogi Sitanggang jatuh bebas. Speed climbing pertama di Indonesia dilakukan oleh Sandy & Jati, di dinding utara Parang, 3 jam. Sekaligus merupakan pemanjatan big wall pertama tanpa menggunakan alat pengaman sama sekali, keduanya hanya dihubungkan dengan tali.
Lomba panjat ‘tebing buatan’ pertama dilakukan di Bandung, mengambil dinding gardu listrik.
Ekspedisi Wanadri berhasil menempatkan 3 pendakinya di Puncak Pumori (7145 m) di Himalaya, Nepal, disusul pasangan Hendricus Mutter dan Vera dari Jayagiri mendaki Imja Tse (6189 m), tanpa bantuan sherpa.
Lalu di Alpen, Ekspedisi Jayagiri Speed Climbing gagal memenuhi target waktu 2 hari pemanjatan dinding utara Eiger, mulur menjadi 5 hari. Sedangkan ekspedisi dari Pataga Jakarta berhasil menciptakan lintasan baru di dinding yang sama.
Di Yosemite, AS, Sandy Febyanto dan Jati Pranoto dari Jayagiri memanjat Tebing Half Dome (gagal memecahkan retor John Bachar & Peter Croft 4,5 jam) dan Tebing El Capitan (gagal memecahkan rekor 10,5 jam).

1989
Awal tahun dunia panjat tebing Indonesia merunduk dilanda musibah, gugurnya salah satu pemanjat terbaik Indonesia, Sandy Febyanto, jatuh di Tebing Pawon, Citatah. Tapi tak lama, semangat almarhum seolah justru menyebar ke segala penjuru, memacu pencetakan prestasi panjat tebing di Bumi Pertiwi ini.
Tim Panjat Tebing Yogyakrta/TPTY melakukan ekspedisi ke Dinding Utara Carstensz tetapi gagal mencapai puncak secara direct, namun jalur normal Carstensz berhasil dipanjat sebelumnya.
Kembali kawasan Citeureup dirambah anak Aranyacala, kali ini Tebing Rungking.
Arek-arek Young Pioneer dari Malang memanjat tebing Gajah Mungkur di seputaran dalam kawah Gunung Kelud. Kemudian tim Jayagiri dalam persiapannya ke Lhotse Shar di Nepal, mematok target memanjati semua pucuk-pucuk tebing sekeliling kawah Kelud tadi, tapi tak berhasil. Ekspedisi Lhotse Shar itu sendiri batal berangkat.
Tebing Uluwatu dipanjat ekspedisi putri yang kedua, dari Mahitala Unpar.
Kelompok MEGA Universitas Terumanegara melakukan Ekspedisi Marathon Panjat Tebing, beruntun di tebing-tebing Citatah, Parang, Gajah Mungkur, dan berakhir di Uluwatu, dalam waktu hampir sebulan, marathon panjat tebing pertama di Indonesia. Ekspedisi Putri Lipstick Aranyacala dia Bambapuang, tapi musibah menimpa sebelum puncak tergapai. Ali Irfan Batubara, fotografer tim, tewas tergelincir dari ketinggian.
Tahun ini tercatat tak kurang dari sepuluh kejuaraan panjat dinding diselenggarakan di Indonesia. Beberapa yang besar antara lain di Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Trisakti Jakarta, ISTN Jakarta, di Markas Kopassus Grup I Serang, dua kali oleh Trupala SMA-6 (di Balai Sidang dan Ancol), lalu SMA 70 Bulungan Jakarta, kelompok KAPA FT Ul, Geologi ITB.
Mapala Ul bikin 2 ekspedisi, Mount Cook (3764 m) di Selandia Baru dan Puncak McKinley (6149 m) di Alaska. Empat anggota Wanadri mengikuti kursus pendakian gunung es di Rainier Mountaineering Institute di AS, dilanjutkan dengan bergabung dengan ekspedisi AS ke Kangchenjunga di Himalaya.
Di Alpen, Ekspedisi Wanita Alpen Indonesia berhasil pula merampungkan misinya, mendaki 5 puncak tertinggi di 5 negara Eropa, Mont Blanc (4807m, Perancis), Grand Paradiso (4601 m, Italia), Marts Rosa (4634 m, Swiss), Grossgiockner (3978 m, Austria) dan Zugsptee (2964 m, Jerman Barat).
Akhir tahun ini ditutup dengan gebrakan Budi Cahyono melakukan pemanjatan solo di Tower III Tebing Parang. Artificial solo climbing pada big wall yang pertama di Indonesia.


[dari berbagai sumber]